Friday, April 15, 2016

Perjalanan Sang Perantara Rezeki Menuju Singgasana

Hari-hari berjalan seperti biasanya, mentari terbit bergantian dengan mega senja yang perlahan terbenam. Pudar, semakin sunyi dan membunuh cahaya yang terang benderang. Tanpa kesedihan, Dia lekas berjalan menuju kamar untuk menutup jendela-jendela yang tadinya terbuka. Belum rapat dengan sempurna, Diapun terdiam menatap langit yang luas dengan sedikit cahaya kecil yang bening. Gelap tak tersadar, kini mulai terhapus dengan indahnya panorama malam sang pelukis yang terkenal dan sempurna. Dia tersenyum, hingga tersadar bahwa kegelapan hanya sebentar dan tidak sesedih yang dibayangkan. Dengan hati yang yakin, Lembaran yang terlipat mulai direbahkan dengan bahagia menutupi kaca jendela kamarnya.
sang-perantara-rezeki.jpeg

Perjalanan Sang Perantara Rezeki Menuju Singgasana

Dia seorang lelaki yang mempunyai satu kakak perempuan yang sudah menikah dengan dititipi dua orang anak kecil yang lucu-lucu serta tinggal di luar kota, dia juga memiliki adik perempuan cantik yang masih duduk dibangku kelas enam sekolah dasar. Dia ikut bersama ibunya yang hanya membawa status single parent, karena kala itu ayahnya menikah lagi dengan orang lain. Berusaha tegar, dan yang paling dia benci adalah jika ibunya berlarut-larut dalam kesedihan masa lalunya. Dia baru saja lulus sekolah menengah pertama, bahkan rasanya belum pantas untuk memikul beban sepahit itu. Jam dinding menunjukkan pas tepat saatnya untuk tidur, tapi kesunyian malam membuatnya sulit untuk melepaskan kelelahan itu. Didalam pikirannya selalu dipenuhi dengan sosok ayah yang harus digantikan, ditahanpun percuma karena air matanya sudah terlampau penuh dan perlahan menetes membasahi pipinya. Malam-malam yang panjang selalu ia lalui, hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk melamar pekerjaan. Sambil ia berjalan, dia sesekali menatap langit untuk sekedar mengecek cita-citanya yang ia gantungkan dulu. Hari semakin siang dan panas, iapun mulai bercucuran keringat serta diteriaki suara-suara kendaraan yang semrawut. Terduduk dengan lunglai dipinggir jalan dibawah pohon yang rindang, lalu dia mengkipasi dirinya dengan telapak tangan yang tidak berdaya. Kadang merunduk, tapi ia kembali sadar dengan suara burung diatas yang memberi kabar bahwa cita-citanya kini terhapus oleh silaunya mentari yang sangat perih dipandang.


Adik perempuannya sebentar lagi ujian nasional, lembaran bertuliskan rupiahpun datang dan harus dibayar dahulu. Ibunya berusaha tidak panik, sehingga kecemasannya tidak terlihat oleh si dia. Tak lama adiknya bertanya kepada ibunya tentang kapan itu dilunasi, si diapun mulai merasakan sakitnya cambukan dari semua itu. Matanya semakin sulit terpejam ketika malam, karena yang hanya bisa ia lakukan adalah menatap langit-langit rumah orang lain yang ia tumpangi bersama ibu dan adiknya.


Dia lebih sering ke kamar mandi, biasanya hanya membasuh wajahnya yang tidak berhenti meneteskan air mata tak berdaya. Rambutnya ia basahi dan dilipatkan kebelakang dengan kedua tangannya, lalu ia menatap cermin sambil agak merunduk dengan bertumpu pada kedua lengannya yang memegang erat bak mandi. Dilema yang nyaris patah, iapun melanjutkan membasahi bagian tubuhnya dengan air wudhu. Sahabat curhatnya hanya satu kala itu, dia hanya bisa mengeluh, meminta, bertanya, dan dengan rasa egois harus dikabulkan.


Hari ternyata lebih cerah dari biasanya, dia mulai ditunjuk seorang pemilik perusahaan untuk bekerja yang tidak tau gajinya berapa karena dia sama sekali tidak memiliki keahlian khusus. Mulai bosan, karena dia terkadang hanya pulang lesu tanpa ada cerita apalagi rupiah yang harus ia kasih sama ibunya. Kepalanyapun sering dielus ibunya yang matanya berkaca-kaca menegarkan diri, tanpa melihatpun si dia sudah merasakan betapa tidak teganya seorang ibu melihat anak yang dimanjanya dulu seperti itu.


Meski hanya cukup, adiknya kini lulus sekolah dengan rengking 1 pada rapornya. Hujanpun mereda, hingga pelangi mulai terbentang menghiasi langit tepat diatas bumi yang ia pijak. Pelangi tidak bertahan lama, gemuruh beserta gunturpun terasa sakit ditelinga. Penghuni rumah yang dia tumpangi itu semakin banyak bertengkar, dia apalagi ibunyapun sadar bahwa mereka sudah saatnya berteduh, meski penghuni tersebut tidak lain adalah orangtua ibunya sendiri.


Guntur dan kilat memang berhenti, tetapi tanah yang becek itu terpaksa harus mereka lalui. Rumah kosong bekas orang meninggal, itulah satu-satunya pilihan yang harus mereka ambil. Kini hari itu terasa sangat lama, ia selalu ingin cepat pulang kerja karena ia gak mau adik dan ibunya ketakutan. Jalan memang banyak bercabang, dia terjebak dalam dua pilihan yang sangat sulit untuk ia tentukan. Kini gajinya naik tetapi pulangnya malam, gelisah tak berujung karena ia memerlukan biaya rumah baru dan atau melihat keluarganya yang penakut itu ketakutan.


Hanya mampu meminta maaf, ibunyapun mengerti dan menyetujui sama keputusan si dia. Terang kembali terang dan gelap menjadi gelap, tidak mau masuk lobang yang sama tetapi pilihan menjorokkan mereka. Adik serta ibunya kembali menumpang sementara, lalu pulang ke rumah kosong itu jika si dia juga pulang meski larut malam. Suasana seperti itu sudah gak kuat untuk diteruskan, kemudian si dia banting tulang untuk mencari kerja sampingan yang waktunya berbarengan. Angin meniup rumput seakan tidak beraturan, dedaunan berjatuhan tanpa mengenal kejamnya tanah yang mampu membusukkan. Perlahan dedaunan itu berbau busuk, karena memang jalan tuhan untuk memupuk akar yang haus dengan ambisi dan ketidakpuasan. Hikmah mulai terkumpul, petakan rumah mulai menyusul.


Damai melihat ikan di kolom kecil yang aman, serta makanan yang sesekali dihabiskan bersama meski berebutan. Rumah baru, berbagai cerita dimulai dan berbagai macam pula kisah yang harus dibaca. Kolam ikan yang tadi damai kini diterpa hujan deras, pujian campur hinaan meluap membanjiri rasa sirik beserta kesalahfahaman.


Adiknya kini dimasukkan ke pendidikan di luar kota, hingga dibayar tunai oleh tuhan melalui gajinya yang melebihi karyawan yang lainnya. Pergantian hari dan malam tersebut tak bisa dielakkan, kadang redup disiang hari dan ada kalanya bintang tidak muncul di malam hari. Ibunya kini hidup sendiri di rumah dengan terpaan kata dan prilaku yang tidak pantas diterimanya, si dia sering hanya mendengarkan curhatan sedih ibunya yang tidak tau kapan terjadinya. Kini pengusir ngantuk itu datang lagi dari kamar sebelahnya, ibunya sering menggerutu serta diselingi tangisan sesegukan bahkan pernah hingga subuh berkumandang. Jelas, seorang anak mana yang hanya diam tak kala melihat ibu single nya seperti itu. Ibu yang bekas disakiti ayah, kini ibu kembali lagi disakiti oleh tiga keluarganya sendiri dengan gelombang yang lebih parah, mungkin seorang anak yang berlebel adan dan baongpun pasti matanya akan berkaca-kaca jika mengalami hal semacam ini.


Bukan tidak berani melawan, si dia itu bingung karena yang akan dilawan itu adalah seorang neneknya sendiri, dan kedua pamannya sendiri, serta ketiga orang tersebut tidak lain adalah orang-orang yang pemahaman agamanya diatas 70%. Si dia perlahan mencari jalan keluar tanpa ingin terjadinya perang saudara, hingga tiga eksperimen didapatnya yang memang ketiganya adalah kesalahan ibunya sendiri. Dalam hatinya menggumam, dia merasa beruntung karena langkah gila untuk membela ibunya dulu itu tidak dilakukan, mungkin jika langkah gila itu dilakukan maka hasilnya si dia yang akan malu sendiri.


Silahkan bayangkan saja, si dia itu pulang kerja larut malam demi membekali adik dan ibunya, pas pulang ke rumah ibunya sakit-sakitan mungkin gara-gara ngebatin dan jantungnya yang lemah. Ibunya sering terlihat gak nafsu makan, dan kerap kali batuk-batukan yang diselingi tangisan dalam kesunyian malam. Hingga pada akhirnya ibunya sakit parah dan tidak mampu berdiri sendiri, lalu adiknya terpaksa ditarik pulang untuk mengurus ibunya yang selalu ia tinggalkan kerja. Hari-hari yang dulu terasa semakin berat, dulu yang hanya hujan kini menjadi banjir bandang, dulu yang hanya angin kini menjadi badai topan, dulu hanya dedaunan berguguran kini pohonnyapun mulai retak, dulu ikan yang damai kini menjadi kolam tangisan, dan kecemasan meningkat hingga ketakutan mulai menghantui.


Ini pendewasaan diri, kata itulah yang selalu menegarkannya. Dengan harapan yang masih panjang, si dia udah ada rencana menikah, adiknyapun sedang dekat dengan lelaki yang resmi, mereka masih butuh ibu yang sehat untuk melakukan resepsi pernikahan, mereka butuh ibu yang kuat untuk menggendong anak-anaknya kelak, ibunya bukan sekedar ibu tetapi sekaligus ayah mereka, dan ibu ini adalah ibu yang belum selesai mereka bahagiakan, Dia dan adiknya merasa belum bisa membanggakan ibunya, dan tidak akan cukup jika harapan-harapan itu ditulis disini.


Ya Allah sembuhkanlah ibu, karena sebenarnya si dia disini itu adalah aku sendiri. Aku yang tidak berhenti menangis dari mulai postingan ini ditulis, walaupun aku adalah seorang lelaki yang hidup setiap hari dijalanan, tetapi kalau tentang ibu aku rela disebut cemen. Aku ikhlas berapapun rupiah yang harus aku keluarkan asalkan ibuku sembuh, dan semoga dengan ini nanti aku bisa ditempatkan di singgasana paling indah oleh Allah SWT. Amiin...


Semoga yang membaca sudi mendo'akan untuk kesembuhan ibuku dengan ikhlas, karena ibuku sedang dirawat saat tulisan ini dibuat, dan aku menunggunya diluar.
Ya Allah, jangan KAU hilangkan satu kebahagiaan kami ini walaupun nantinya akan lebih bahagia dari ini. Amiiin....
Wajib Jawab! Klik Di Bawah,
Apa Pendapat Anda Tentang Postingan ini?



0 comments

Post a Comment