Desa Ju, desa tumbal.
Itulah yang selama ini kudengar mengenai desa Ju. Tapi, aku tidak mengerti apa yang dikatakan seorang nenek saat aku berlibur.
Di desa Ju, ada satu keluarga yang tinggal disana. Mereka hidup harmonis dan bahagia yang terdiri dari sang nenek, ayah, ibu, dan seorang anak kecil. Mereka memiliki bisnis terpencil tetapi banyak orang dari desa sebelah mengunjungi tokonya, karena di desa Ju hanya ada keluarga mereka saja. Keluarga yang lain banyak dikatakan hilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini.
Suatu saat, sang nenek meninggal dunia yang mengakibatkan penghasilan bisnisnya makin menurun. Terpaksa kepala keluarga (ayah) harus menutup bisnis itu dan bekerja di sebuah perdagangan di kota. Sedangkan sang ibu mencari nafkah dengan menjual kue-kue kecil di desa sebelah. Mereka memiliki anak perempuan yang bernama Hana. Hana sekarang sudah berusia 6 tahun. Hana selalu bermain sendiri pada pagi dan siang hari di taman Ceri. Di taman itu penuh dengan pohon ceri sehingga dinamai taman Ceri.
Hana bermain di taman Ceri itu. Ia bersenang-senan
g sendiri dengan boneka kesayangannya, Mimi sang kelinci. Tak lama kemudian, satu buah ceri menggelinding ke arah berlawanan dengan Hana. Hana mengejar ceri tersebut, dan DAPAT! Tetapi, ada yang aneh dari sana. Ia merasa tidak pernah ada sebuah pintu kayu kumuh di daerah sekitar taman Ceri itu. Karena anak itu penasaran, ia membuka pintu kayu itu dengan perlahan. Sebuah ladang bunga terlihat berbagai macam warna disana. Hana sangat senang, ia melihat banyak anak yang sebaya dengannya. Ia mengikuti alur jalan ladang itu. Hingga terlihatlah sebuah labirin penuh dengan daun-daun. Ia melihat seorang anak laki-laki kecil berwajah pucat seperti habis disiksa dan seperti menyuruhku dan mengisyaratkan cepat keluar dari tempat ini. Tetapi Hana tidak terlalu memperdulikan apa yang dikatakan oleh anak laki-laki kecil tadi karena ia melihat banyak anak-anak yang didampingi kedua orangtuanya.
Hana senang melihat bunga-bunga di sekitarnya berwarna-warni. Sambil mengikuti jalan yang ada, ia tak sengaja melihat ke belakang. Anak laki-laki kecil itu melihatnya terus menerus hingga mengikuti Hana tanpa henti. Hana berusaha menghindarinya dan mencoba untuk tidak menghiraukannya. Suatu ketika, ia melihat sebuah bangunan yang sepertinya sudah lama dibangun dan sekarang sudah retak-retak. Hana mulai mendekati bangunan itu. Tetapi, ia merasa mulai memasuki sebuah labirin yang dalam.
Hana tersadar, ia tidak menemukan jalan pulang, melainkan pergi ke tempat yang ia tak kenal. Berlari-lari mencari pintu kayu tadi tetapi tidak ditemui olehnya. Sampai suatu detik, ia mulai memasuki labirin makin dalam. Hana bertemu dengan seorang laki-laki yang berumur sekitar 25 tahunan. Rasa takutnya memuncak karena laki-laki itu mirip dengan anak laki-laki yang ditemuinya, bekas lukanya pun sama tempatnya yaitu tepat di pipi kiri dan lengan kanan nya. Sehingga ia tak bisa berpikir bagaimana caranya untuk mencari jalan keluar.
Laki-laki itu mendekatinya dan berkata, �Bagaimana adik bisa sampai ke labirin ini?�
Hana menjawab, �Saya melihat sebuah pintu kayu kumuh berisi ladang bunga dan saya memasukinya dan bertemu anak seumur denganku beserta orangtuanya.�
�Pintu kayu kumuh, ladang bunga dan anak-anak?� tanya laki-laki itu.
�Iya, saya juga melihat sebuah bangunan retak dan sepertinya sudah tidak ada penghuninya, kak,� jawab Hana kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu dengan cepat berkata, �Bangunan lama?� ia sedikit terkejut. �Kakak akan memberitahumu sedikit tentang labirin ini. Beberapa anak kecil yang kamu lihat tadi bukanlah anak yang bahagia. Orangtua dan anak mereka itu hanyalah sebuah dimensi. Mereka adalah anak yang hilang dari desa Ju dan cepatlah kau pergi dari sini sebelum malam tiba.�
Sekejap Hana berpikir, keluarga-keluarga yang ada di desanya ternyata hilang di labirin ini dan hanya tersisa keluarga Hana saja. Cepat Hana pergi meninggalkan laki-laki itu. Ia berlari-lari dengan sangat cepat. Ia tergesa-gesa karena sangat sudah putar-putar mencari jalan keluar. Ia sudah lelah, dan akhirnya ia tertidur lama.
Saat bangun, ia melihat langit sudah gelap sekitar pukul tujuh malam. Ia terus mencari pintu kayu kumuh itu. Hingga akhirnya sepasang suami istri melihat ke arah Hana. Hana semakin takut saat melihat suami istri yang ditemuinya adalah ayah dan ibunya sendiri dan ia teringat akan perkataan kakak tadi, �Cepat pergi sebelum malam tiba.�
�Apakah ini pertanda buruk? Atau malah kebalikannya? Apakah ayah dan ibu akan membawaku pulang kembali?� tanyanya dalam hati. Ternyata itulah pertanda buruk yang dia alami. Ayah dan ibu membawa perlengkapan tajam seperti setumpuk pisau dan menunjuk ke arah anak itu. Ia teringat dengan perkataan anak laki-laki kecil yang mengisyaratkan sesuatu kepadanya. Tanpa sempat berbicara dengan ayah dan ibunya, Hana merasa masih berhutang banyak dengan ayah dan ibunya. Detik itulah ia menghembuskan napasnya yang terakhir karena ditusuk menggunakan belasan pisau di sekujur badan Hana itu
.
Keadaannya ditemukan oleh laki-laki yang ditemui Hana sebelumnya secara mengenaskan. Laki-laki itu berkata kepada Hana yang sudah tidak bernyawa, �Anak yang malang, padahal saya sudah bilang dan mengisyaratkanmu melewati aku yang masih kecil untuk pergi dari sini atau bersembunyi sebelum malam hari tiba. Orangtua di desa ini selalu berpikir untuk mengurangi biaya hidupnya dengan membunuh anak mereka sendiri. Anak yang bersama orangtua yang kau lihat pertama kali masuk ke labirin ini hanyalah dimensi sebagai penyambutan untuk anak yang akan dibunuh orangtuanya karena orangtuanya ingin melihat anaknya sendiri bahagia terlebih dahulu sebelum ayah dan ibu sepakat untuk membunuh anaknya sendiri malam hari itu juga. Dan aku adalah sang anak laki-laki tersebut yang berhasil lolos belasan tahun yang lalu dan yang kau lihat pertama kali di pintu. Karena labirin ini sudah puluhan tahun disini dan memiliki ribuan tumbal yang tersedia di bangunan lama itu untuk dijadikan jalan beraspal yang digunakan untuk mencoba menghilangkan labirin ini dan membuat jalan menuju kota yang cukup jauh.�
Itulah yang selama ini kudengar mengenai desa Ju. Tapi, aku tidak mengerti apa yang dikatakan seorang nenek saat aku berlibur.
Di desa Ju, ada satu keluarga yang tinggal disana. Mereka hidup harmonis dan bahagia yang terdiri dari sang nenek, ayah, ibu, dan seorang anak kecil. Mereka memiliki bisnis terpencil tetapi banyak orang dari desa sebelah mengunjungi tokonya, karena di desa Ju hanya ada keluarga mereka saja. Keluarga yang lain banyak dikatakan hilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai saat ini.
Suatu saat, sang nenek meninggal dunia yang mengakibatkan penghasilan bisnisnya makin menurun. Terpaksa kepala keluarga (ayah) harus menutup bisnis itu dan bekerja di sebuah perdagangan di kota. Sedangkan sang ibu mencari nafkah dengan menjual kue-kue kecil di desa sebelah. Mereka memiliki anak perempuan yang bernama Hana. Hana sekarang sudah berusia 6 tahun. Hana selalu bermain sendiri pada pagi dan siang hari di taman Ceri. Di taman itu penuh dengan pohon ceri sehingga dinamai taman Ceri.
Hana bermain di taman Ceri itu. Ia bersenang-senan
g sendiri dengan boneka kesayangannya, Mimi sang kelinci. Tak lama kemudian, satu buah ceri menggelinding ke arah berlawanan dengan Hana. Hana mengejar ceri tersebut, dan DAPAT! Tetapi, ada yang aneh dari sana. Ia merasa tidak pernah ada sebuah pintu kayu kumuh di daerah sekitar taman Ceri itu. Karena anak itu penasaran, ia membuka pintu kayu itu dengan perlahan. Sebuah ladang bunga terlihat berbagai macam warna disana. Hana sangat senang, ia melihat banyak anak yang sebaya dengannya. Ia mengikuti alur jalan ladang itu. Hingga terlihatlah sebuah labirin penuh dengan daun-daun. Ia melihat seorang anak laki-laki kecil berwajah pucat seperti habis disiksa dan seperti menyuruhku dan mengisyaratkan cepat keluar dari tempat ini. Tetapi Hana tidak terlalu memperdulikan apa yang dikatakan oleh anak laki-laki kecil tadi karena ia melihat banyak anak-anak yang didampingi kedua orangtuanya.
Hana senang melihat bunga-bunga di sekitarnya berwarna-warni. Sambil mengikuti jalan yang ada, ia tak sengaja melihat ke belakang. Anak laki-laki kecil itu melihatnya terus menerus hingga mengikuti Hana tanpa henti. Hana berusaha menghindarinya dan mencoba untuk tidak menghiraukannya. Suatu ketika, ia melihat sebuah bangunan yang sepertinya sudah lama dibangun dan sekarang sudah retak-retak. Hana mulai mendekati bangunan itu. Tetapi, ia merasa mulai memasuki sebuah labirin yang dalam.
Hana tersadar, ia tidak menemukan jalan pulang, melainkan pergi ke tempat yang ia tak kenal. Berlari-lari mencari pintu kayu tadi tetapi tidak ditemui olehnya. Sampai suatu detik, ia mulai memasuki labirin makin dalam. Hana bertemu dengan seorang laki-laki yang berumur sekitar 25 tahunan. Rasa takutnya memuncak karena laki-laki itu mirip dengan anak laki-laki yang ditemuinya, bekas lukanya pun sama tempatnya yaitu tepat di pipi kiri dan lengan kanan nya. Sehingga ia tak bisa berpikir bagaimana caranya untuk mencari jalan keluar.
Laki-laki itu mendekatinya dan berkata, �Bagaimana adik bisa sampai ke labirin ini?�
Hana menjawab, �Saya melihat sebuah pintu kayu kumuh berisi ladang bunga dan saya memasukinya dan bertemu anak seumur denganku beserta orangtuanya.�
�Pintu kayu kumuh, ladang bunga dan anak-anak?� tanya laki-laki itu.
�Iya, saya juga melihat sebuah bangunan retak dan sepertinya sudah tidak ada penghuninya, kak,� jawab Hana kepada laki-laki itu.
Laki-laki itu dengan cepat berkata, �Bangunan lama?� ia sedikit terkejut. �Kakak akan memberitahumu sedikit tentang labirin ini. Beberapa anak kecil yang kamu lihat tadi bukanlah anak yang bahagia. Orangtua dan anak mereka itu hanyalah sebuah dimensi. Mereka adalah anak yang hilang dari desa Ju dan cepatlah kau pergi dari sini sebelum malam tiba.�
Sekejap Hana berpikir, keluarga-keluarga yang ada di desanya ternyata hilang di labirin ini dan hanya tersisa keluarga Hana saja. Cepat Hana pergi meninggalkan laki-laki itu. Ia berlari-lari dengan sangat cepat. Ia tergesa-gesa karena sangat sudah putar-putar mencari jalan keluar. Ia sudah lelah, dan akhirnya ia tertidur lama.
Saat bangun, ia melihat langit sudah gelap sekitar pukul tujuh malam. Ia terus mencari pintu kayu kumuh itu. Hingga akhirnya sepasang suami istri melihat ke arah Hana. Hana semakin takut saat melihat suami istri yang ditemuinya adalah ayah dan ibunya sendiri dan ia teringat akan perkataan kakak tadi, �Cepat pergi sebelum malam tiba.�
�Apakah ini pertanda buruk? Atau malah kebalikannya? Apakah ayah dan ibu akan membawaku pulang kembali?� tanyanya dalam hati. Ternyata itulah pertanda buruk yang dia alami. Ayah dan ibu membawa perlengkapan tajam seperti setumpuk pisau dan menunjuk ke arah anak itu. Ia teringat dengan perkataan anak laki-laki kecil yang mengisyaratkan sesuatu kepadanya. Tanpa sempat berbicara dengan ayah dan ibunya, Hana merasa masih berhutang banyak dengan ayah dan ibunya. Detik itulah ia menghembuskan napasnya yang terakhir karena ditusuk menggunakan belasan pisau di sekujur badan Hana itu
.
Keadaannya ditemukan oleh laki-laki yang ditemui Hana sebelumnya secara mengenaskan. Laki-laki itu berkata kepada Hana yang sudah tidak bernyawa, �Anak yang malang, padahal saya sudah bilang dan mengisyaratkanmu melewati aku yang masih kecil untuk pergi dari sini atau bersembunyi sebelum malam hari tiba. Orangtua di desa ini selalu berpikir untuk mengurangi biaya hidupnya dengan membunuh anak mereka sendiri. Anak yang bersama orangtua yang kau lihat pertama kali masuk ke labirin ini hanyalah dimensi sebagai penyambutan untuk anak yang akan dibunuh orangtuanya karena orangtuanya ingin melihat anaknya sendiri bahagia terlebih dahulu sebelum ayah dan ibu sepakat untuk membunuh anaknya sendiri malam hari itu juga. Dan aku adalah sang anak laki-laki tersebut yang berhasil lolos belasan tahun yang lalu dan yang kau lihat pertama kali di pintu. Karena labirin ini sudah puluhan tahun disini dan memiliki ribuan tumbal yang tersedia di bangunan lama itu untuk dijadikan jalan beraspal yang digunakan untuk mencoba menghilangkan labirin ini dan membuat jalan menuju kota yang cukup jauh.�
0 comments
Post a Comment